Wartacakrawala.com -Zaman digitalisasi 4.0 menjadikan segala macam profesi menjadi lebih mudah untuk di akses. YouTube yang menjadi kampus online membuat lulusan smk desain grafis merugi karena banyak sekali orang yang dengan mudah belajar desain grafis dan mahir secara otodidak ber- modal kuota internet. Hal ini kemudian membuat perkembangan teknologi menjadi cepat dan variabel professional dalam satu pekerjaan menjadi berkurang.
Manfaat yang lain dari kecepatan teknologi dan informasi adalah mudahnya meningkatkan popularitas. Digitalisasi yang hari ini terjadi membuat metode rekam posting menjadi viral dan membentuk satu pergeseran sumber konflik sosial yang baru di indonesia. Fenomena ustadz yang terkenal karena viral di youtube kemudian akhirnya populer menjadi ustadz artis. Hal ini sebenarnya cukup mengancam peningkatan.
konflik sosial di indonesia karena pada akhirnya filtrasi dan kapabilitas satu sosok tokoh yang harusnya menjadi panutan sosial di indonesia menjadi rapuh. Belum lagi kemudian sosok ustadz yang di komersilkan dan di industrialisasi dengan mengadakan audisi dan kompetisi untuk menjadi ustadz. (Atau mungkin lebih jauh lagi, ulama yang menjadi wakil presiden).
Dalam konsep populisme islam di indonesia, kita mengetahui bagaimana sejarah membangun tokoh muhammadiyah ahmad dahlan melalui konflik umat islam pada waktu itu. Semuanya melalui konsep populisme islam. Tidak seperti ustadz instan yang para pengikutnya adalah netizen dan warga negara muslim indonesia yang lebih tertarik pada hiburan religi semata.
Dalam kompleksitas konflik sosial dan politik identitas di indonesia seharusnya ustadz menjadi salah satu ujung tombak pemersatu umat islam yang saat ini terpecah belah oleh radikalisme. Belum lagi umat islam indonesia yang terpecah hanya karena simbol simbol islamistis yang menciptakan perbedaan baru dan membuat muslim indonesia kebanyakan berselisih pendapat.
Baca juga: Sekumpulan Pemuda yang Tergabung dalam Razia Orang Lapar, Bagikan 500 Nasi Bungkus
Hal yang paling memprihatinkan adalah perpecahan para ustadz dan ulama di indonesia. Yang membentuk satu friksi besar dengan keyakinan politik yang berbeda. Kita bisa menarik fenomena pilpres 2019. Bagaimana kita melihat kedua kelompok besar muslim di indonesia saling berhadapan membawa capres nya masing masing. Mungkin semua itu adalah upaya.
populisme islam dibangun namun tidak mampu memprediksi bagaimana dampak terhadap persatuan dan kesatuan pada saat itu. Belum lagi panasnya sosial media yang hanya membahas tentang pahit dan hancurnya kondisi masyarakat pada saat itu hanya supaya beritanya laku. Dalam sisi yang lain media merupakan satu variabel penting dalam membangun opini publik yang menenangkan hati atau merusak suasana kedamaian di satu negara.
Menteri agama Yaqut Cholil Qoumas menyebutkan dalam salah satu webinar silaturahmi nasional lintas agama yang disiarkan melalui kanal Youtube Humas Polda Metro Jaya (27/12/20). Beliau menjelaskan beberapa perilaku yang dinilai sebagai cikal bakal pembentukan gerakan populisme islam di tanah air. Pak menteri menambahkan bahwa salah satunya adalah sikap intoleransi yang cenderung menimbulkan sikap merasa benar atas apa yang diyakini kelompoknya.
Hal ini cukup membingungkan mengingat negara kita demokratis untuk memiliki perbedaan pendapat. Perihal penilaian kelompok muslim lain yang berbeda pendapat maka cukup naif bila penilaian salah benar itu ada di suara masyarakat. Sedangkan negara dan pemerintah adalah aturan mengikat bagi warga negara memeluk suatu agama. Kontradiksi yang terjadi adalah tentang pemerintah yang menilai masyarakat muslim membedakan diri secara berkelompok, padahal secara umum justru pemerintah hadir sebagai api pembakar ranting kayu.
yang membuat rezim orde baru seolah hadir kembali di tengah konflik sosial masyarakat. Seharusnya pemerintah hadir atas nama negara untuk menengahi dan menjadi titik evakuasi berkumpulnya umat muslim melakukan aktifitas kewarganegaraan, bukan malah ikutan jadi kelompok baru dalam friksi ini. Pantas saja tokoh islam yang berada pada garis politik terkadang melupakan kebijaksanaannya karena tidak tepat-nya positioning pemerintah beserta perangkat “coklat”-nya dalam menilai masyarakat yang sedang menjalankan hak berpendapat.
Dalam poin ini, HMI sebagai organisasi yang berasaskan islam harus ikut campur di sudut yang zuhud dan berada pada sisi masyarakat tertindas. Gerakan secara komprehensif dan efektif tentu tidak semerta merta mampu dilakukan sendirian. Perlu gerakan kolaboratif dan powerful agar HMI mampu Empowering atau berdaya bersama masyarakat indonesia yang tertindas.
Menggerakan seluruh elemen HMI untuk mampu menunjukkan sikap asketik di tengah friksi sorban dan mal positioning pemerintah hari ini adalah solusi sederhana yang mampu dijadikan salah satu socio movement HMI membangun bangsa. Berkolaborasi dengan lembaga kemasyarakatan yang lain, HMI harus menjadi poros gerakan nasional yang bersifat sosial keumatan dan dikemas sangat indonesia serta mampu diterima di masyarakat semua kalangan.
Memulainya tentu dengan landasan ideologi HMI yaitu Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang dikemas sedemikian rupa agar mampu di aktualisasikan oleh kader HMI di seluruh penjuru bangsa dan mampu dikonsumsi dengan baik oleh segenap masyarakat Indonesia. (*)
*)Penulis : Davi Maulana, Kandidat Ketua Badko HMI Jawa Timur
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim