Wartacakrawala.com – “Negara Hukum hanya terampil memproduksi kekerasan, demokrasi prosedural, perilaku politik transaksional, peradilan hukum yang terjebak pada kuasa modal dan status sosial” (Dr. Faisal, S.H., M.H.)
Seperti yang kita ketahui bahwa negara di dunia pada saat ini dapat di kelompokkan dalam dua garis besar, yaitu negara dengan supremasi kekuasaan sebagai sesuatu yang tertinggi (Machstaat), dan yang kedua adalah negara dengan menjadikan hukum sebagai panglima tertinggi (Rechstaat/Rule of law).
Setelah runtuhnya banyak sistem kekuasaan atau monarki di dunia disebabkan perkembangan zaman yang melahirkan paradigma baru secara global yaitu paradigma kebebasan dalam bernegara. Sehingga muncullah negara-negara dengan sistem baru sebagai antitesa dari negara kekuasaan yakni negara hukum dengan konsep kesetaraan dan kebebasan.
Negara hukum menjadi negara yang paling diminati di seluruh dunia hari ini, Indonesia sejak awal kemerdekaan berkomitmen untuk berdiri sebagai negara yang berlandaskan hukum untuk keluar dari sistem feodalisme dan penjajahan yang menyebabkan traumatik bagi masyarakat Indonesia.
Namun konsep ideal yang diinginkan oleh pendiri bangsa ini justeru dibangkang oleh penguasa hari ini, yang justeru menyebabkan trauma berkepanjangan di masyarakat.
Baca juga: Ratusan Tenaga Honorer Bawaslu Datangi Kantor Bawaslu Jatim
Hampir seluruh sektor kekuasaan di Indonesia berkerja secara sewenang-wenang dan mengabaikan hukum serta moral yang hidup di masyarakat, seluruh kegiatan penguasa yang berpotensi melanggar hukum, maka dengan cepat hukum tersebut lah yang akan dirubah dan disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan mereka.
Negara kita kehilangan moralitas sebagai negara hukum, padahal menurut Plato kekuatan moral adalah unsur hakikat dari hukum. Sementara moral itu sendiri berada di tengah-tengah masyarakat sebagai sumber energi dari mana hukum itu mendapatkan validitasnya.
Kekuasaan Yudikatif misalnya, Pengadilan hari ini kehilangan orientasinya sebagai lembaga penemu keadilan menjadi lembaga penegak undang-undang yang justeru mengisolasi Pengadilan itu sendiri pada paradigma positivistik tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai keadilan di masyarakat.
Kekuasaan eksekutif, hari bekerja tanpa panduan konstitusi, dan memproduksi sarjana tukang stempel untuk melegitimasi kekuasaannya seolah-olah telah sejalan dengan konstitusi.
Kekuasaan Legislatif, keluar jauh dari rel nya sebagai representasi masyarakat menjadi representasi partai yang menyebabkan disorientasi pada lembaganya dan distrust (krisis kepercayaan) masyarakat.