Wartacakrawala.com – Kesetaraan dalam konteks kepemimpinan berarti antara laki – laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk menjadi pemimpin dalam skala mikro maupun makro berdasarkan tingkat kemampuan maupun kualitas yang dimiliki. Menjadi seorang pemimpin sebagai figur yang mengembangkan tugas fungsional untuk mengawal proses dalam rangka mempengaruhi pikiran, perilaku, dan perasaan orang lain.
Masuk di ranah kampus, pemimpin perempuan masih menjadi suatu pro dan kontra, yang mana sebagian masih saja menganggap jika pemimpin perempuan lebih sensitif hatinya, hingga berstigma tidak setegas pemimpin laki – laki. Hal ini terlihat di beberapa perguruan tinggi yang di dominasi sebagai rektor merupakan laki – laki, tercatat dari sekian banyaknya perguruan tinggi hanya 9 rektor perempuan di Indonesia dan 6 diantaranya masih aktif.
Minimnya kepemimpinan perempuan di perguruan tinggi ada tiga faktor utama sebagai hambatan. Budaya patriarki dalam artian stigma kepada perempuan. Di samping itu, faktor eksternal di sekitar perempuan berupa minimnya pengembangan pribadi, professionalisme perempuan, hingga manajerial saat menjadi pemimpin.
Ternyata, hambatan yang paling mengemuka bukan soal akademik, kemampuan ilmiah atau pengalaman manajemen sebagai mana yang disyaratkan perguruan tinggi. Sungguh sangat disayangkan dunia perguruan tinggi yang seharusnya menerapkan nilai – nilai egalitarian dan demokratis yang melahirkan sikap kritis rasional justru masih terbelenggu oleh budaya patriarki. Tidak heran jika perguruan tinggi masih dijumpai nilai – nilai diskriminatif dan stigma negatif terhadap perempuan.
Kepemimpinan perempuan merupakan perjuangan perempuan untuk meminta kembali pikiran mereka dan mematahkan kebisuan yang dipaksa oleh struktur patriarki dan institusi lain yang membatasinya. Perlunya kepemimpinan perempuan karena perempuan mempunyai keunikan dan berbeda dengan pemimpin laki – laki. Misalnya, dalam pengambilan keputusan, perempuan lebih cenderung menggunakan gaya demokratis dan partisipatif daripada laki – laki.
Perempuan lebih interpersonal, bisa mendengarkan lebih baik sebagai keterampilan yang dapat membuat orang lain merasa nyaman serta memiliki peran penting dalam sebuah struktur. Perempuan juga mempunyai pandangan yang lebih kuat pada nilai – nilai kesetaraan. Kepemimpinan perempuan justru lebih relevan bagi dunia pendidikan yang diharapkan mampu melahirkan manusia kritis, inovatif dan bertanggung jawab serta berpegang teguh pada nilai – nilai kesetaraan.
Azas kesetaraan perlu diaplikasikan sejak ranah mahasiswa. Di Jawa Timur mengenal nama pemimpin perempuan yang luar biasa, Bu Khofifah, Bu Tri Rismaharini. Kepemimpinan perempuan tidak berarti melemahkan peran laki – laki, tapi justru menimbulkan bentuk kontestasi kesetaraan gender. Bahwa sebenarnya peran laki – laki dan perempuan, memiliki sebuah kesetaraan.
Pada akhirnya, ungkapan Nawal El Syadawi perlu dijadikan refleksi bersama. “Women are half the society. You cannot have a revolution without women. You cannot have democracy without women. You cannot have equality without women. You can’t have anything without women” ~ Nawal el Saadawi. Secara arti dikutip dari pinterpolitik.com bahwa perempuan merupakan setengah dari masyarakat. Kamu tidak dapat mengalami revolusi tanpa perempuan. Kamu tidak dapat memiliki demokrasi tanpa perempuan. Kamu tidak bisa memiliki kesetaraan tanpa perempuan. Dan kamu tidak bisa mendapatkan apa-apa tanpa perempuan.
*)Penulis: Diana Damayanti, Mahasiswa semester 3, jurusan Administrasi Negara Universitas Islam Malang, Kader PMII Al-Fanani
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim