Wartacakrawala.com – Seluruh kampus negeri dan swasta, diminta segera membentuk satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) paling lambat Juli 2022.
Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menargetkan 30 persen Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sudah memiliki satgas pada Februari 2022.
Lalu pada Maret-Juni mencapai 60 persen hingga Juli 2022, 100 persen PTN sudah memiliki satgas PPKS.
Ia mengatakan, khusus Perguruan Tinggi Swasta atau PTS, juga diharapkan hal yang sama.
“Sedangkan untuk Perguruan Tinggi Swasta kita mengharapkan hal yang sama, Februari 30 persen sudah membuat satgas, dan akhir Juli sampai 100 persen,” terang dia dalam tayangan Merdeka Belajar episode 14 Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual.
Untuk Perguruan Tinggi Swasta, pembentukan satgas bisa dilakukan di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) masing-masing wilayah. Mengapa satgas untuk PTS dilakukan di LLDikti, Nadiem menjelaskan hal Ini untuk mengatasi masalah sumber daya di PTS.
“Kami mengerti PTS memiliki keterbatasan sumber daya. Namun, kami tetap berharap PTS membentuk sendiri, dan perguruan tinggi yang di bawah yayasan, terpadu, bisa membentuk satu satgas di tingkat yayasan,” imbuhnya.
Nadiem menerangkan tujuan satgas untuk melalukan investigasi kekerasan seksual di dalam kampus. Menurutnya, penting bagi perguruan tinggi melindungi mahasiswa, dosen, dan segenap sivitas akademika dari kekerasan seksual.
“Kalau tidak ada sanksi, tidak mungkin jera dan kita tidak mungkin itu artinya perguruan tinggi tidak mementingkan untuk memprioritaskan keamanan mahasiswa dan dosen dalam kampus, jadi luar biasa pentingnya untuk melihat sanksi,” katanya.
Dia mengapresiasi perguruan tinggi yang berupaya untuk transparan dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan transparan. Sebab mayoritas kasus kekerasan seksual di kampus justru tidak dilaporkan dan sulit ditangani.
Baca juga: Penjelasan Kemendikbud Soal Permendikbudristek PPKS, Harus Dipahami
“Kita akan memberikan cap jempol kepada kampus-kampus yang terbuka, yang menuntaskan investigasi mereka, bukan yang menutup-nutupi. Ini adalah paradigma baru kita sekarang,” Jelasnya.
Nadiem mengungkapkan, ada survei internal dan eksternal di 79 kampus dari 26 kota telah terjadi kasus kekerasan seksual. Ini belum survei lain yang telah dilakukan Komnas Perempuan yang menyebut, kekerasan di tingkat perguruan tinggi memiliki aduan yang cukup banyak.
Apalagi, saat dilakukan survei kepada dosen, 77 persen responden menyebut ada kekerasan seksual yang terjadi di dalam kampus. 60 persen survei, menyebut tidak pernah melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Merujuk Permendikbudristek No 30 Tahun 2021, pada bagian 5 pasal 38, Satgas menangani laporan Kekerasan Seksual melalui mekanisme:
Penerimaan Laporan;
Pemeriksaan;
Penyusunan Kesimpulan Dan Rekomendasi;
Pemulihan; Dan
Tindakan Pencegahan Keberulangan
Bagi korban, jika ingin melapor kepada satgas telah diatur pada pasal 39.Pada ayat 1, pelaporan Kekerasan Seksuaal dilakukan oleh Korban dan/atau saksi pelapor.
Lalu, Pelaporan Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui:
telepon;
pesan singkat elektronik;
surat elektronik;
dan/atau Laman resmi milik Perguruan Tinggi.
Pelaporan Kekerasan Seksual dilakukan dengan mekanisme yang mudah diakses penyandang disabilitas.
Dalam hal Korban, saksi, dan/atau Terlapor merupakan penyandang disabilitas, Satuan Tugas menyediakan pendamping disabilitas dan pemenuhan akomodasi yang layak. Hal ini telah diatur dalam pasal 41 ayat 4.
Pemeriksaan harus dilakukan secara tertutup dan harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja.
Selama pemeriksaan kasus kekerasan seksual terjadi, dalam Pasal 41, Pemimpin Perguruan Tinggi dapat memberhentikan sementara hak pendidikan Terlapor (pelaku) yang berstatus sebagai mahasiswa.
Termasuk hak pekerjaan Terlapor (pelaku) yang berstatus sebagai pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus. (*)