Wartacakrawala.com – Pandemi bukan lagi dianggap sebagai isu kesehatan yang mendobrak ekosistem global. Namun imbasnya mulai merambah ke situs ekonomi, sosial, budaya hingga kebijakan fiskal maupun moneter. Situasi ini dapat diperparah ketika muncul varian baru virus SARs-Cov-2 yang pasca diteliti menjadi alasan etiologi penyakit Covid-19. Pandemi berdampak luar biasa bagi tatanan perekonomian global. Ancaman resesi dan depresi sudah di depan pandangan.
Negara adidaya, seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Amerika Serikat, Prancis hingga Inggris sudah merasakan imbasnya. Data dari I MF (International Monetary Fund) menunjukkan, 95% negara-negara dunia diproyeksi mengalami pertumbuhan ekonomi di zona negatif. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi nasional dalam dua kuartal mengalami kontraksi hingga 5,32% (Junaedi, 2020).
Beragam cara mulai didiskusikan oleh pembuat kebijakan di lingkup lokal, regional hingga global. Pemerintah, peneliti, akademisi bahkan pemimpin global merapatkan diri untuk memperoleh solusi – bagaimana metodenya agar pandemi dapat segera usai, ekonomi membaik serta kesejahteraan masyarakat kembali meningkat?
Pertengahan November lalu, Indonesia baru saja selesai menyelesaikan mandat menjadi Tuan Rumah Presidensi G20 — sebuah forum kerjasama akbar multilateral yang mempertemukan 19 negara utama serta Uni Eropa (EU). Dalam agendanya, G20 fokus pada tiga pilar prioritas, yakni arsitektur kesehatan global, green energy/ sustainable energy, dan digital economy transformation.
Baca juga: Islam Tradisional dan Keterbukaan Sosial
Pada puncak KTT G20, anggota negara tersebut berhasil mengonstruksi kesepakatan dan komitmen bersama, terutama di bidang kebijakan fiskal. Negara anggota siap membantu golongan rentan dalam menghadapi krisis ekonomi, menjaga stabilitas keuangan dan meningkatkan produktivitas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Menilik dari definisinya, fiskal diartikan sebagai kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara. Di Indonesia sendiri, kebijakan tersebut termaktub dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang menuliskan penetapan alokasi serta distribusi keuangan negara.
Anggaran ini melibatkan campur tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga menganut asas terbuka dan fleksibel, artinya apabila DPR sebagai penjelmaan wakil rakyat menolak afirmasi, maka APBN dalam wujud rancangan tidak dapat dilegalkan untuk dijalankan pada masa pemerintahan tahun depan.
Seberapa Penting Kebijakan Fiskal Islam?
Kebijakan Fiskal dianalogikan sebagai nadi dari kehidupan rakyat. Urgensinya mampu menentukan apakah rakyat dapat sejahtera atau tidak. Di negeri multidimensi ini, kebijakan fiskal tidak terbentuk atas hukum agama, namun berdasar pada peraturan perundang-undangan — sebagai identitas negara hukum. Indonesia sejak masa kemerdekaan menetapkan dasar hukum pancasila dan UUD 1945 untuk diejawantahkan dalam aspek kehidupan berkebangsaan.
Walaupun demikian, dalam ranah kebijakan fiskal kedua dasar tersebut mengakui adanya eksistensi agama, artinya regulasi fiskal yang dianggap haram oleh hukum agama otomatis ditolak oleh Pancasila dan UUD 1945. Karena itulah, ekonomi islam hadir membuka pintu ijtihad dalam penentuan kebijakan, bukan wajib bergantung pada nash dan tafsir tekstual saja. Hal ini berlaku selama masih berasa dalam koridor tujuan islam, yaitu dar‟ al- mafasid wa jalb al-masalih (menghilangkan bahaya dan menarik kemaslahatan).