Menakar Kolaborasi Kebijakan Fiskal Islam, Indonesia, dan Presidensi G20 2022

Shofy Maulidya Fatihah
Ilustrasi kebijakan fiskal pertumbuhan ekonomi / liputan6
Ilustrasi kebijakan fiskal pertumbuhan ekonomi / liputan6

Reformulasi Kebijakan Fiskal Islam dengan Indonesia

Kebijakan fiskal negeri Islam mulai terkonsolidasi ketika Nabi SAW membangun negara di Madinah. Ada tujuh sumber penerimaan negara pada masa beliau, yaitu zakat (dipungut dari umat Islam yang mampu), al-Ghanimah (harta rampasan perang; termaktub dalam Surat Al-Anfal:1), al-Fay (harta dari orang nonmuslim tanpa kekerasan/ peperangan), al-Jizyah (pungutan atas umat ahl-al-kitab yang mampu), harta wakaf, harta sedekah serta hutang dari umat islam. Sumber penerimaan tersebut juga dijalankan pada masa Abu Bakar al-Sidiq dengan pengelolaan yang masih sederhana, yaitu didistibusikan langsung kepada golongan mustahik.

Pada masa Umar bin Khattab pengelolaan mulai terstruktur dengan dibentuknya Bayt al-Mal. Bayt al-Mal turut menganggarkan jumlah tunjangan rakyat setiap tahunnya, menyediakan dana untuk mencukupi kebutuhan pegawai negara dan tentara.

Di Indonesia sendiri, badan yang mengelola keuangan dimandatkan kepada Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Sumber keuangan lain yang diperoleh masa kekhalifahan Umar adalah pajak al-Kharraj (pajak atas tanah) dan pajak al- Ashar (pajak atas dagangan). Keduanya diperuntukkan bagi masyarakat muslim maupun nonmuslim untuk menghindari pungutan berganda bagi muslim yang telah membayar zakat perdagangan.

Baca juga: Sarjana Pendidikan Enggan Menjadi Guru, Kenapa?

Di Indonesia, kebijakan pungutan pajak al-Kharraj (pajak atas tanah) dapat dianalogikan Pajak Bumi atau Bangunan (PBB), sedang pajak al- Ashar diibaratkan sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPn) namun objeknya tidak hanya barang, tetapi juga jasa.

Merunut kembali pada kebijakan fiskal islam, zakat belum menjadi instrumen sumber penerimaan di Indonesia. Zakat perlu diletakkan sebagai wacana mumalah daripada ibadah sebab menyangkut sosial ekonomi dalam mendukung pemerataan keadilan sosial. Namun dalam kewenangan pengelolaannya perlu ada kolaborasi dengan Departemen Keuangan (Supangat, 2013).

Dua nilai utama zakat yakni nilai ibadah dan nilai sosial tersebut memudahkan dibangunnya awareness di tengah masyarakat dalam pengumpulan dana zakat, dalam hal ini zakat maal yang memiliki nilai tinggi. Tercatat dalam sejarah pada masa pemerintahan Umar Bin Abdul Azis kesuksesan dalam pengelolaan zakat membawa kesejahteraan yang luar biasa merata di tengah masyarakat, bahkan hampir seluruh masyarakat saat itu tergolong sebagai muzakki dan hampir tidak ada golongan mustahik.

Masa Depan Fiskal Indonesia sebagai Imbas Presidensi G20

Tujuan utama kebijakan fiskal adalah memperoleh pemerataan kesejahteraan ekonomi yang berasal dari sumber penerimaan negara. Presidensi G20 telah menciptakan kesepakatan internasional antar negara, khususnya untuk memperoleh ketahanan ekonomi.

Pertama, perjanjian tentang paket perpajakan internasional dua pilar G20-OECD (Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan) diperkirakan akan berdampak terhadap pendapatan negara.

Kedua, pertemuan antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian untuk membahas upaya yang dapat dilakukan G20 untuk mengatasi kerentanan pangan, terutama melalui koordinasi finance-agriculture secara berkelanjutan diproyeksikan akan berdampak terhadap sisi belanja negara dan juga belanja perpajakan (tax expenditure).

Ketiga, implementasi kebijakan terkait net zero policy yang merata dan juga terjangkau bagi negara-negara berkembang dan miskin diperkirakan akan memengaruhi sisi penerimaan perpajakan dan belanja negara. Keempat, komitmen Pandemic Fund diperkirakan akan berdampak terhadap belanja negara dan pembiayaan anggaran. Kelima, penyelenggaraan FWG (Framework Working Group) diperkirakan akan berdampak terhadap koordinasi fiskal dan moneter.

Dalam jangka pendek dan menengah hasil kerja sama G20 diharapkan mempu meningkatkan kesehatan masyarakat, menjaga daya beli, dan mengurangi angka kemiskinan, serta mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tentu saja ini bukan hal yang mudah untuk diwujudkan, namun harus terus diupayakan dengan maksimal.

Dengan adanya variasi sumber penerimaan negara berdasar pada kebijakan fiskal islam — termasuk zakat yang masuk didalamnya, yang direformulasikan dengan kebijakan negara Indonesia maupun hasil komitmen bersama negara G20, maka Indonesia akan dapat bertahan dari guncangan resesi global yang dianggap sebagai isu resonansi. Oleh karena itu perlunya kolaborasi antar elemen masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan dan pemulihan ekonomi bersama.

*)Penulis: Nur Burhanuddin, S.E. (Mahasiswa Pascasarjana UIN Salatiga)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com

*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim

Total
0
Shares
0 Share
0 Tweet
0 Pin it
0 Share
0 Share
0 Share
0 Share
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Aksi bersih pantai BEM PENS Surabaya dan Ecoton

Peduli Lingkungan, BEM PENS dan Ecoton Lakukan Bersih Pantai Kenjeran

Next Post
Bupati Malang HM Sanusi bersama Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto / istimewa

Upacara Hari Jadi Kabupaten Malang ke-1262 Berlangsung Gayeng

Related Posts
Total
0
Share