Wartacakrawala.com – Dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, organisasi, pemerintah kita tidak bisa terlepas dari istilah pemimipin. Secara singkat pemimpin dapat diartikan sebagai orang yang mendapatkan amanah serta memiliki sifat, sikap, dan gaya yang baik untuk mengurus orang. Peran kepemimpinan juga menentukan bahkan seringkali menjadi ukuran dalam mencari sebab-sebab jatuh bangunnya suatu organisasi.
Dalam menjalankannya pemimimpin memilik ciri khas masing-masing, gaya kepemimpinan tersebut merupakan sebuah norma perilaku yang digunakan pada saat seorang mencoba mempengaruhi perilku orang lain. Dalam hal ini usaha menyelaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi dan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya. Terkait hal ini, Soerjono Soekanto mengungkap bahwa terdapat tiga gaya kepemimpinan yang lazim digunakan, yaitu :
- Otoriter
Ciri pokok dari kepemimpinan seperti ini, yakni :
- Pemimpin melakukan segala kegiatan kelompok secara sepihak.
- Pengikut sama sekali tidak diajak untuk ikut serta merumuskan tujuan kelompok dan cara-cara mencapainya.
- Pemimpin terpisah dan seakan-akan tidak ikut dalam proses interaksi dalam kelompok tersebut.
- Demokratis
Ciri umum dari kepemimpinan seperti ini, yakni :
- Secara musyawarah dan mufakat pemimpin mengajak para pengikut untuk ikut serta merumuskan tujuan serta cara-cara mencapainya.
- Pemimpin secara aktif memberikan saran dan petunjuk.
- Ada timbal balik kritik positif.
- Pemimpin secara aktif ikut ambil bagaian dalam kegiatan-kegiatan kelompok.
- Cara-cara bebas
Ciri dari kepemimpinan seperti ini, yakni :
- Pemimpin menjalankan perannya secara pasif.
- Penentuan tujuan yang akan dicapai sepenuhnya diserahkan kepada kelompok.
- Pemimpin hanya menyediakan sarana yang diperlukan kelompok.
- Pemimpin berada ditengah-tengah kelompok, namun tidak lebih dari seorang penonton.
Kemudian yang perlu dipahami bahwa, pada hekekatnya ketiga ketegori tersebut tidak bersifat mutlak terpisah, akan tetapi secara simultan ataupun kombinasi ketiganya dapat diterapkan, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi.[1]
Istilah-Istilah Kepemimpinan Dalam Islam
Istilah pemimpin tentu sangat beragaman kita jumpai tidak terkeculi didalam al-Qur’an yang menggunakan istilah tentang pemimpin dengan beragam bentu, diantaranya:
- Khalifah
Kata Khalifah disebut dalam al-Qur’an pada dua konteks :
- Pada surah al-Baqarah ayat : 30
Hal ini berkaitan tentang penciptaan Adam as. sebagai khalifah yang tidak lain ialah menjadi pemimpin/pengelolah bumi ini untuk memakmurkannya atau membangunnya sesuai dengan tuntunan dan ajaran Allah yang menugaskannya.
- Dalam surah Shad ayat : 26
Berkaitan tentang nabi Daud as. yang dijadikan Allah sebagai Khalifah di muka bumi ini untuk menjadi titik panutan dan pengetur manusia dengan budi yang luhur dan keadilan serta membimbing mereka menuju jalan yang diridhoi Allah. [2]
- Ulu al-Amri
Ibnu Taimiyah berkata: Uli al-Amri adalah orang yang memegang perkara dan pemimpin. Mereka adalah orang yang memerintah manusia, termasuk didalamnya orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan, juga orang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teologi. Oleh sebab itu, uli al-amri ada dua macam yaitu ‘ulama dan umara. Apabila mereka bagus pasti manusia akan bagus, begitu pula sebaliknya.
Dr. Abdul Hamid Mutawali mendefinisikan uli al-amri seperti yang dikatakan oleh para ulama’ syariah, yakni ada dua golongan :
- Uli al-Amrikeagamaan, yaitu para mujtahid dan ahli fatwa (mufti).
- Uli al-Amrikeduniaan, yaitu mereka yang kita sebut sekarang dengan nama dewan legislatif dan eksekutif. [3]
- Imam
Para ulama mendefinisikan kata Imam itu sebagai setiap orang yang dapat diikuti dan ditampilkan ke depan dalam berbagai permasalahan, misalnya Rasulullah saw itu adalah imamnya para imam, khalifah itu adalah imamnya rakyat, al-Qur’an itu adalah imamnya kaum muslimin.[4]
Adapun sesuatu yang dapat diikuti dan dipedomani itu tidak hanya manusia, tapi juga kitab-kitab dan lain sebagainya. Kalau dia manusia, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah perkataan dan perbuatannya. Kalau dia kitab-kitab, maka yang dapat diikuti dan dipedomani ialah ide dan gagasan-gagasannya. Tetapi jangan lupa, sesuatu yang dapat kita ikuti itu terbagi pada dua macam, dalam kebaikan dan keburukan.[5]
- Malik
Akar kata al-Malik terdiri dari tiga huruf, yaitu mim-lam-kaf artinya kuat dan sehat. Dari akar kata tersebut terbentuk kata kerja malaka-yamliku yang berarti kewenangan untuk memiliki sesuatu, jadi term tersebut bermakna seseorang yang mempunyai kewenangan untuk memerintahkan dan melarang sesuatu dalam kaitan dengan sebuah pemerintahan. Tegasnya term al-maliki itu ialah nama bagi setiap orang yang memiliki kemampuan dibidang politik pemerintahan.[6]
Dalam al-Qur’an disebutkan pada surah Ali Imran ayat: 26
Hal tersebut menjelaskan bahwa Allah swt ialah Sang Pemilik Kekuasaan atas segala kekuasaan, dan Dia pula yang berkuasa atas pemberian dan pencabutan kuasa tersebut bagi yang dikehendakinya. Dari prinsip tersebut menurut Sayyid Quthb mengungkapkan bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak, yang dapat bertindak seluas-luasnya dan tanpa batas karena Dia-lah pemilik dan sumber kekuasaan. Dan sebaliknya, tidak boleh ada kekuasaan yang dijalankan secara sewenang-wenang oleh manusia karena hal tersebut mutlak milik Allah. Seseorang yang sedang berkuasa harus ingat bahwa kekuasaan itu hanyalah pinjaman yang didalamnya terdapat syarat-syarat dan aturan tertentu sesuai dengan ketentuan Pemilik kekuasaan yang mutlak dan dia harus menaati dan memenuhi ajaran-ajaran-Nya.[7]
Syarat-Syarat Pemimpin Dalam Islam
Pemimpin menempati posisi strategis dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kemaslahatan atau bahkan kemudharatan. Keputusan tersebut harus diambil dengan kebijaksanaan yang hanya berorientasi pada kemaslahatan mayoritas. Maka, seorang pemimpin harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti emopat syarat pemimpin yang disampaikan Ibnu Khaldun, yakni :
- Berilmu pengetahuan
- Berkeadilan
- Berkompetensi
- Sehat jasmani dan rohani
Dalam ilmu fiqih keempat syarat di atas dijelaskan lebih rinci sebagai berikut :
- Seorang pemimpin itu haruslah memiliki pengetahuan akan hal yang dipimpinnya karena kelak ia harus mengambil sikap dan keputusan.
- Seorang pemimpin haruslah adil, yakni adil dalam arti yang luas yang mana dia harus menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, serta dapat menjaga kehormatan dirinya. Jika ia menetapkan suatu hukum maka ia wajib menjalankan dan mengawasinya.
- Seorang pemimpin harus memiliki kompetensi dalam memimpin, artinya dia harus bertanggung jawab, teguh pendiriaan, tidak lemah, memiliki keahlian dalam menjalankan kepemimpinan, memajukan negara dan negara serta sanggup membela keduanya dari ancaman musuh.
- Seorang pemimpin haruslah sehat jasmani maupun rohani, karena hal ini dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugasnya.
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, tidak pernah membedakan suku, warna kulit maupun status sosial seseorang, semuanya mendapat kedudukan yang sama bahkan jika seorang hamba sahaya menjadi pemimpin wajiblah ditaati, seperti sabda Rasulullah saw :
“Dengarkanlah dan taatilah apabila seorang hamba sahaya dari Habasyah yang hitam legam diangkat menjadi pemimpin kalian.” (HR. Bukhori, Muslim, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). [8]
Ayat Serta Tafsirannya
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Artinya : “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS.Ali Imron [3] : 28)
Asbabun Nuzul QS. Ali Imran [3] : 28
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa al-Hajjaj bin ‘Amr yang mewakili Ka’b bin al-Asyraf, Ibnu Abil Haqiq serta Qais bin Zaid (tokoh-tokoh Yahudi) telah memikat segolongan kaum Anshar untuk memalingkan mereka dari agamanya. Rifa’ah bin al-Mundzir, Abdullah bin Jubair, serta Sa’ad bin Hatsamah memperingatkan orang-orang Anshar tersebut dengan berkata: “Hati-hatilah kalian dari pikatan mereka, dan janganlah terpalingkan dari agama kalian.” Mereka menolok peringatan tersebut. Maka Allah menurunkan surah ini sebagai peringatan agar tidak menjadikan orang kafir sebagai pelindung kaum mukmin.[9]
Tafsiran QS. Ali Imron [3] : 28
Ayat ini melarang orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai penolong mereka, karena jika seorang mukmin menjadikan mereka sebagai penolong, itu berarti orang mukmin dalam keadaan lemah. Jangan jadikan mereka penolong, kecuali jika ada kemaslahatan kaum muslimin dari penolong itu, atau paling sedikit yang tidak ada kerugian yang dapat menimpa kaum muslimin dari pertolongan itu.[10] Jika menjadikan orang kafir sebagai wali, niscaya dia tidak dengan Allah sedikitpun. Kata itu yang merupakan kata yang menunjukkan suatu hal yang benar, memberi isyarat jauhnya perbuatan tercela ini dari keimanan, serta kesadaran akan kekuatan kebesaran dan pertolongan Allah yang seharusnya melekat pada diri orang yang beriman.
Bila mengambil orang-orang kafir sebagai teman, maka diperbolehkan demi menolak bahaya. Hal tersebut diperbolehkan dalam rangka mengambil kemanfaatan bagi kaum muslimin. Jika demikian berarti tidak ada yang mencegah suatu negara Islam bersahabat dengan negara non Islam, selama dapat menarik keutamaan bagi kaum Muslimin yang terkadang menolak bahaya atau menarik kemanfaatan.
Bagi negara Islam, sama sekali tiada hak mengambil mereka sebagai teman dalam suatu hal yang sekiranya dapat membahayakan. Dan persekutuan itu tidak ditentukan hanya dalam kondisi lemah, bahkan dibolehkan dalam segala kondisi.[11]
Allah melarang hamba-Nya yang mukmin bersikap loyal kepada orang kafir. Kemudian Allah memberikan ancaman “Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” Jadi, tidak boleh kaum mukminin mengambil orang kafir sebagai sahabat dekat dan penolong bagi mereka dengan alasan adanya ikatan persaudaraan, persahabatan, bertetangga atau yang lainnya, menceritakan kepada mereka (orang-orang kafir) rahasia mereka(kaum mukmin), mencintai mereka dan lebih mendahulukan kemaslahatan mereka diatas kemaslahatan kaum mukminin. Meskipun hal tersebut mengandung kepentingan dan kemaslahatan pribadi mereka. Namun, jika bersikap loyal dan mengadakan jalinan persekutuan demi kemaslahatan dan kepentingan kaum muslim, maka hal tersebut diperbolehkan. Sesungguhnya yang wajib bagi kaum muslim adalah bersikap loyal kepada sesama muslim dan mengandalkan mereka dalam menangani urusan umum.[12]
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’ [4] : 58)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4] : 59)
Asbabun Nuzul QS. An-Nisa [4] : 58
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah Fathu Makkah, Rasulullah memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci, berdirilah Abbas seraya berkata: “ Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan).” Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku Utsman!” Utsman berkata: “Inilah amanat dari Allah.” Maka berdirilah Rasulullah membuka Ka’bah dan kemudian keluar untuk tawaf di Baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Utsman. Rasullullah melaksanakan perintah itu sambil membaca ayat tersebut.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Utsman bin Thalhah. Ketika itu Rasulullah mengambil kunci kunci Ka’bah darinya pada waktu Fathu Makkah. Dengan kunci itu Rasulullah masuk Ka’bah. Tatkala keluar dari Ka’bah beliau membaca surat ini. Kemudian beliau memanggil Utsman untuk menyerahkan kembali kunci itu. Menurut Ummar bn Khattab, ayat ini turun di dalam Ka’bah, karena pada waktu itu Rasulullah keluar Ka’bah sambil membaca ayat tersebut.[13]
Asbabun Nuzul QS. An-Nisa [4] : 59
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika diutus Nabi untuk memimpin suatu pasukan. Menurut Ibnu Jarir, ayat ini turun berkenaan dengan Ammar bin Yasir yang melindungi seorang tawanan tanpa perintah panglimanya (Khalid bin Walid), sehingga merekapun berselisih.[14]
Tafsiran QS. An-Nisa [4] : 58-59
Keadilan adalah dasar utama pemerintahan. Dengan keadilan, peradaban, pembangunan, dan kemajuan akan tercapai. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus disiplin menegakkan keadilan supaya semua hak dapat terlindungi dan dapat disalurkan. Para pemimpin mempunyai kewajiban untuk memerintah dan menetapkan hukuman.
Setelah memerintahkan supaya menyampaikan amanat kepada orang yang berhak menerimanya dan supaya memutuskan perkara dengan adil diantara sesama manusia. Allah memerintahkan supaya menaati Allah dan Rasul-Nya serta menaati ulil amri, karena segala maslahat yang bersifat umum tidak akan tercapai kecuali dengan ketaatan. Kemudian taatlah kepada ulil amri, yakni umara, hakim, ulama, panglima perang, dan seluruh pemimpin yang menjadi tempat kembali manusia dalam kebutuhan maupun kemaslahatan umum.
Apabila pemimpin telah menyepakati suatu urusan atau hukum, maka wajib untuk ditaati. Dengan syarat mereka harus dapat dipercaya, tidak menyalahi perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan dalam kesepakatan tersebut tidak ada pihak yang memaksanya. Namun, apabila dalam Al-Quran dan sunah tidak ada nas atas hukum, maka ulil amrilah yang mempertimbangkannya. Karena merekalah orang-orang yang dipercaya.
Jika mereka telah menyepakati suatu perkara, maka wajib untuk diamalkan. Jika mereka berselisih tentang suatu masalah, maka hal tersebut wajib diperiksa dalam Kitab dan Sunnah dengan kaidah-kaidah umum yang terdapat didalamnya. Jika sesuai dengan keduanya, maka itulah yang dianggap baik untuk kemaslahatan umum, dan kita wajib untuk mengamalkannya. Namun, apabila bertentangan dengan keduanya, maka hal itu tidak bermaslahat dan kita wajib meninggalkannya. Dengan demikian, selesailah perselisihan dan tercapailah kata sepakat.[15]
Ada macam-macam amanat:
Pertama amanat hamba dengan Tuhannya, yakni apa yang telah dijanjikan Allah kepadanya untuk dipelihara, berupa pelaksanaan segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan menggunakan segala perasaan dan anggota badannya untuk hal yang bermanfaat. Dalam penjelasan lain dikatakan bahwa seluruh maksiat adalah khianat kepada Allah.
Kedua amanat hamba dengan sesama manusia, diantaranya mengembalikan titipan kepada pemiliknya, tidak menipu, menjaga rahasia dan lain sebaainya yang wajib dilakukan terhadap keluarganya, kaum kerabat, manusia pada umumnya dan pemerintah.
Yang termasuk dalam amanat adalah keadilan para umara terhadap rakyatnya, dan keadilan para ulama terhadap orang-orang awam dengan membimbing mereka pada keyakinan dan pekerjaan yang berguna bagi mereka, seperti pendidikan yang baik, mencari rezeki yang halal, memberikan nasihat dan hukum yang menguatkan iman, meyelamatkan dari berbagai kejahatan dan dosa, serta mendorong seseorang untuk melakukan kebaikan dan kebajikan.
Ketiga amanat manusia terhadap dirinya sendiri, memilih yang paling pantas dan bermanfaat baginya dalam masalah agama dan dunianya, menghindarkan berbagai penyakit sesuai dengan pengetahuan dan petunjuk para dokter.[16]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [4] : 51)
Berdasarkan Qs. Al-Maidah ayat diatas Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa : Allah swt melarang hamba-hambanya yang beriman mengangkat orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka, karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan musuh para pemeluknya, semoga Allah membinasakan mereka. Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian dari mereka adalah pemimpin bagi sebagian lainnya. Setelah itu Allah mengancam dan menjadikan siksaan bagi orang yang mengerjakan hal tersebut. Sehubungan dengan penjelasan diatas Ibnu katsir menambahkan kisah dari Ibnu Abi Hatim mengatakan dari ‘Iyadh: “Umar pernah menyuruh Abu Musa al-Asy’ari untuk melaporkan kepadanya pemasukan dan pengeluaran (yang dicatat) pada selembar kulit yang telah disamak. Pada waktu itu, Abu Musa al-Asy’ari mempunyai seorang sekretaris beragama Nasrani, kemudian sekretaris itu menghadap Umar untuk memberikan laporan, Umar sangat kagum seraya berujar: Ia benar-benar orang yang sangat teliti, apakah engkau bisa membacakan untuk kami di masjid, surat yang beru kamu terima dari Syam. Maka Abu Musa al-Asy’ari mengatakan, bahwa ia tidak bisa. Maka Umar bertanya: Apakah ia junub? Ia menjawab: Tidak, tetapi ia seorang Nasrani. Umar pun menghardik dan memukul pahaku. Dia berkata: Keluarkanlah orang itu. Lalu umar membaca (ayat 51).[17]
Kesimpulan
Dalam gaya kepemimpinan, menurut Soerjono Soekanto ada tiga gaya kepimimpinan yakni otoriter, demokratis dan cara-cara bebas. Kemudian yang perlu dipahami bahwa, pada hekekatnya ketiga ketegori tersebut tidak bersifat mutlak terpisah, akan tetapi secara simultan ataupun kombinasi ketiganya dapat diterapkan, tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi.
Istilah-istilah yang satu maksud dengan pemimpin, seperti : ar-Rais, al-Amir dan lain sebagainya. Namun terminologi pemimpin dalam al-Qur’an menggunakan istilah “Khalifah, Ulu al-Amri, Imam dan Malik. Dalam Al-Qur’an ayat dan tafsiran yang menjelaskan tentang pemimpin diantaranya QS. Ali-Imron ayat 28, QS. An-Nisa’ ayat 58-59, dan QS. Al-Maidah ayat 51.
DAFTAR PUSTAKA
Maimunah, “Kepemimpinan Dalam Prespekktif Islam Dan Dasar Konseptualnya”, Al-Afkar, (Vol. V, No. 1, April/2017)
Al-Asfahani , Al-Raghib. Mufradat Alfaz al-Qur’an (Damsyiq: Dar al-Qalam, 1992), (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017)
Bukhori Abdu Shomad, Etika Pemerintahan dalam Islam, (Malang: UM Press, 2011) (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017)
Khaliq, Farid Abdul, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005) (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017)
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabi, 1967), Cet. I. (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017)
Mardiyah, kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2015). (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017).
K.H.Q. Shaleh dan Zaka Al-Farisi. Asbabun Nuzul. Bandung : CV Diponegoro, 2000
Syihab, M. Quraisy. Tafsir Al-Misbah. Jakarta : PT. Lentera Hati, 2016
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi Juz 1. Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1987
Wahbah Az-Zuhaili. Tfsir Al-Munir Jilid 2. Jakarta : Gema Insani, 2013 Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubabaabut Tafsir Min Ibni Katsir, terj. Abdul Ghoffar, Jil. 3 (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2017)
[1] Maimunah, “Kepemimpinan Dalam Prespekktif Islam Dan Dasar Konseptualnya”, Al-Afkar, (Vol. V, No. 1, April/2017), hlm. 64-65.
[2]Bukhori Abdu Shomad, Etika Pemerintahan dalam Islam, (Malang: UM Press, 2011), hlm. 111. (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017), hlm. 49.
[3]Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 83-84. (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017), hlm. 50-51.
[4]Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabi, 1967), Cet. I, hlm. 263. (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017), hlm. 54.
[5]Mardiyah, kepemimpinan Kiai dalam Memelihara Budaya Organisasi (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2015), hlm. 50. (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017), hlm. 54.
[6]Ibid, hlm. 51.
[7]Bukhori Abdu Shomad, Op. Cit. Hlm. 53 lihat juga: Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilali al-Qur’an, jilid I, hlm. 384. (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017), hlm. 55.
[8]Muhammad Syam’un Salim, “Makna Kepemimpinan”, majalah Gontor edisi 11 tahun XIII. Maret 2016, hlm. 25. (Skripsi: Progam Sarjana IAIN Raden Intan Lampung, 2017), hlm. 57.
[9] K.H.Q. Shaleh dan Zaka Al-Farisi, Asbabun Nuzul, (Bandung : CV Diponegoro,2000), Hlm. 97
[10] M. Quraisy Syihab. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : PT. Lentera Hati, 2016), Hlm. 72
[11] Ahmad Mustafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi Juz 1, (Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1987), Hlm. 237
[12] Wahbah Az-Zuhaili. Tafsir Al-Munir Jilid 2. (Jakarta : Gema Insani, 2013), Hlm. 234-235
[13] ibid hlm. 145-146
[14] ibid hlm. 146-147
[15] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: Karya Toha Putra Semarang), 1993. Hlm 116-117
[16] Ibid. Hlm 113-114
[17]Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Lubabaabut Tafsir Min Ibni Katsir, terj. Abdul Ghoffar, Jil. 3 (Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2017), hlm. 133-135.
*)Penulis: Muhammad Fikri Amrulloh, Jurusan Ilmu Al Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata.
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim