Pengaruh Glass Ceiling Dalam Politik Identitas Terhadap Karir Perempuan di Indonesia

Shofy Maulidya Fatihah
Ilustrasi Glass Ceiling/ campuspedia
Ilustrasi Glass Ceiling/ campuspedia

Kurangnya keterlibatan perempuan dalam inisiatif pembangunan adalah salah satu masalah yang ditemukan. Hal ini mendorong pemerintah negara berkembang untuk mengadopsi paradigma pembangunan baru, yaitu pembangunan berorientasi gender, dalam kebijakan mereka.

Masalah perempuan dan pembangunan sangat krusial dalam konteks pembangunan karena perempuan secara tradisional telah terpinggirkan. Sebab, negara masih kurang tepat dalam menempatkan perempuan dalam peran dan aktivitas konvensional. Lebih jauh lagi, negara sebagian besar tidak diperhitungkan dalam inisiatif pembangunan dan tidak mendapatkan manfaat yang sama dengan laki-laki.

Terkait dengan hal tersebut, pemerintah telah menerbitkan sejumlah kebijakan terkait metode pengarusutamaan gender baik di pusat maupun di daerah. Namun, belum semuanya terlaksana dan sesuai harapan hingga saat ini. Beberapa evaluasi harus dilakukan untuk mengoptimalkan suatu kebijakan. Salah satunya adalah kajian implementasi pengarusutamaan gender yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan.

Bahkan dari sudut pandang politik, pemerintah tampaknya kurang memperhatikan ketidaksetaraan gender. Pemerintah dinilai kurang responsif gender, dan didukung oleh birokrat yang belum peka terhadap isu gender. Gender, di sisi lain, belum terintegrasi dengan baik ke dalam proses pembangunan. Budaya lokal, suku, status sosial, dan agama terus menjadi penghambat kesetaraan perempuan dalam proses pembangunan. Akibatnya, perempuan terus bekerja untuk kesetaraan dalam semua aspek pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi.

Selain itu jika dilihat masyarakat di Indonesia yang masih cenderung patriarkis, yang di mana laki-laki memegang posisi yang lebih dominan dan sering menganggap perempuan sebagai komoditas seksual-emosional. Mengenai marginalisasi gender, Adapun aksi aksi gerakan feminisme sebagai upaya mendapatkan kesetaraan, tetapi hal tersebut hanya wacana saja,sebab posisi perempuan dalam konteks kekuasaan politik tetap saja rentan dari berbagai bentuk manipulasi politik dan tak jarang dipakai sebagai alat legitimasi politik. Sedangkan dari situ timbul adanya rekoneksi antara gerakan perempuan dengan aksi-aksi politik perempuan sebagai bentuk untuk mensinergikan tindakan politik dengan gerakan sosial perempuan dan perlu pengupayaan bagamaina cara untuk meminimalisir adanya feminisme strukturalis yang terjadi di masyarakat.

*)Penulis: Arya Nugraha Widyatama, Universitas Muhammadiyah Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com

*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum

*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim

Total
0
Shares
0 Share
0 Tweet
0 Pin it
0 Share
0 Share
0 Share
0 Share
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
Ilustrasi tumpukan sampah kertas / Zabur Karuru / Antara

Ancaman Dampak Mikroplastik Di Perairan Indonesia

Next Post
Wakil Bupati Lumajang, Indah Amperawati saat memberikan keterangan / Kominfo-lmj/Fd

Pemkab Lumajang Pastikan Warga Zona Merah Diprioritaskan Dapat Hunian Relokasi

Related Posts
Total
0
Share