Wartacakrawala.com – Masih segar dalam ingatan saya beberapa tahun lalu statemen teman saya dalam sebuah diskusi, bahwa keadaan bangsa Indonesia yang secara sumber daya alam melimpah; tanah subur, hasil bumi segalanya ada, kandungan mineral dari dalam bumi kita pun kaya. Akan tetapi yang menikmati dalam kemakmuran atas itu semua hanya sekian prosen dari penduduk Indonesia. Masih terjadi ketimpangan kesejahteraan, kesenjangan sosial diantara rakyat Indonesia. Dan semua ini terjadi karena kesalahan GURU.
Karena saya adalah seorang guru, tentu saja saya menolak statemen tersebut, apalagi saya dan rekan-rekan hanyalah guru di Sekolah Dasar. Bagaimana mungkin kami, guru-guru yang tugasnya teramat mulia bisa menjadi penyebab keadaan kehidupan bangsa yang penuh ketimpangan dan kesenjangan di semua wilayah. Apalagi di institusi pendidikan, Sekolah Dasar, tentu saja praktik korupsi, kolusi, gratifikasi dan lain-lain yang sejenis dengan itu semua jauh dari pendidikan dan pengajaran kami selaku guru pengajar/pendidik di sekolah.
Di sekolah kami, SD Islam Bani Hasyim, tentu saja santri-santri kami ajar dan kami didik dengan hal-hal yang baik-baik saja, intra maupun ekstrakurikulernya. Dari kurikulum, bahan ajar sampai perangkat pembelajaran kami siapkan semaksimal mungkin, pembelajaran juga kami kemas sedemikian rupa sehingga santri-santri kami tetap bahagia dalam melakukan aktifitas belajar mereka. Tokoh teladan yang kami tanamkan pun adalah manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW serta banyak tokoh dan ilmuan Muslim lainnya, dari sahabat Nabi sampai tokoh Muslim yang masih hidup pun, jika memang bisa diteladani, kami ajarkan perjuangan hidupnya sehingga dia layak untuk dijadikan teladan.
Baca juga: cara baru membayar sekolah di Bani Hasyim Singosari
Mungkin inilah jawaban dari statement teman saya tersebut, keteladanan. Jika saya dan pembaca bersekolah dasar di era 80 an dan 90 an, maka sudah pasti akrab dengan buku cerita berjenis fabel (kisah dengan tokoh binatang) dengan tokohnya “Si kancil”, ada cerita dengan judul “Kancil dan Pak Tani”, “Kancil dan Jembatan Buaya” dan lain-lain. Dan semua cerita tentang Si Kancil ini menyimpulkan tentang “Kecerdikan” Si Kancil, apapun yang dilakukan Si kancil dalam kisah-kisahnya selalu disimpulkan bahwa dia adalah binatang yang cerdik. Padahal yang sebenarnya ada dalam buku-buku cerita tersebut adalah tentang kelakuan Si kancil yang licik, egois, menghalalkan segara cara untuk meraih tujuannya.
Menurut saya inilah sumber masalah utama; Pembuatan alur cerita kekeliruan dan kekeliruan pengambilan kesimpulan dari sebuah cerita. Pertama, cerita berjenis fabel, tidak bermasalah, akan tetapi alangkah lebih baik jika generasi bangsa usia emas (masa kanak-kanak) mendapatkan cerita/kisah teladan dari tokoh-tokoh yang memang bisa diteladani sejak usia dini bahkan sepanjang hayat. Yang kedua, kekeliruan pengambilan kesimpulan; Si kancil yang sebenarnya licik, egois, menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan malah disimpulkan sebagai binatang yang cerdik.
Maka jangan heran jika dari penikmat kisah-kisah Si Kancil tersebut ketika dewasa bisa mengimplementasikan dalam kehidupan nyata mereka, misalnya Gayus Tambunan, Harun Masiku dan Juliari batubara dengan kasus korupsinya serta banya pelaku-pelaku korupsi yang sedikit banyak terinspirasi oleh kecerdikan si kancil dalam melakukan aksinya. Dan pastinya, mereka para koruptor tidak akan pernah menyadari bahwa perbuatan mereka berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat banyak.
Itulah pentingnya memilah-milah tokoh untuk dijadikan teladan dan memberikan contoh kisah/cerita hanya dengan cerita dan tokoh-tokoh yang baik-baik saja dan patut untuk diteladani. Mudah-mudahan dengan sedikit tulisan ini bisa menggerakkan hati kita untuk membekali anak-anak kita khususnya dengan hal-hal, ilmu dan contoh-contoh yang baik-baik saja.