Wartacakrawala.com – Masa pandemi sekarang ini, semua kegiatan dalam masyarakat sangat dibatasi oleh pemerintah. Bukan bermaksud untuk membatasi hak setiap individu dalam beraktivitas, namun semua ini dilakukan sehubungan dengan pencegahan penularan virus covid-19.
Sudah seperti yang kita semua tahu, bahwa Indonesia masih belum pulih dari masa pandemi covid-19. Dikutip dari badan organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization) covid-19 adalah suatu penyakit yang disebabkan karena virus korona baru yang disebut SARS-CoV-2. WHO sendiri pertama kali mengetahui virus ini pada tanggal 31 Desember 2019[1].
Pada bulan Maret tahun 2020 virus tersebut mulai menyebar di Indonesia. Sejak saat itu pemerintah Indonesia mulai menerapkan peraturan baru terkait dengan penerapan protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan, dan juga menjaga jarak.
Pemerintah juga menetapkan aturan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. Maka dari itu, hingga saat ini pemerintah masih tetap memberlakukan peraturan terkait dengan protokol kesehatan yang harus ditaati oleh semua elemen masyarakat Indonesia supaya Indonesia segera terbebas dari pandemi.
Selain itu, pemerintah juga mulai memberlakukan sistem melakukan pekerjaan dari rumah atau work from home (wfh) dan belajar dari rumah atau studi from home (sfh) yang dilakukan mulai dari siswa sekolah dasar, tingkat menengah, tingkat atas, dan juga mahasiswa.
Sistem pembelajaran tersebut dinamakan daring atau dalam jaringan, dimana kedua belah pihak (tenaga pendidik dan peserta didik) memanfaatkan teknologi yang dapat diakses dengan menggunakan jaringan internet. Hal tersebut ditujukan supaya tidak terjadi kegiatan belajar mengajar dalam satu ruangan yang sama sehingga akan besar kemungkinannya untuk terjadinya penularan virus covid-19.
Pembelajaran daring sendiri menurut Fitriana (2018) dikembangkan sebagai salah satu media untuk pembelajaran yang bisa menghubungkan secara daring (dalam jaring) atau online antara pendidik dan pengajar di dalam sebuah ruang kelas maya (virtual classroom) tanpa harus ada disatu ruangan secara fisik[1].
Sedangkan Xudong Zhu (2020) menjelaskan bahwa belajar secara daring dapat dilakukan dengan virtual classroom atau kelas maya, yaitu pengalaman belajar di suatu lingkungan yang sinkron atau asikron menggunakan berbagai alat (seperti laptop atau smartphone) dengan menggunakan akses internet[2].
Platform yang digunakan untuk membantu untuk memfasilitasi proses pembelajaran tersebut dapat berfungsi sebagai media untuk menyampaikan materi, penilaian, ataupun untuk mengumpulkan tugas. Platform tersebut diantaranya whatsapp group, google classroom, zoom cloud meeting, google meet, google from, dan email[3].
Baca juga: Peran Vital Industri Telekomunikasi di Masa Pandemi COVID-19
Jadi pembelajaran daring dapat dilakukan untuk memudahkan tenaga pendidik dan siswa suapaya tetap melakukan kegiatan belajar mengajar tanpa harus bertemu disaat situasi dan kondisi darurat yang sedang terjadi seperti sekarang ini. Hal tersebut akan sangat membantu pemerintah dan masyarakat luas dalam menangani penyebaran covid-19.
Kebijakan ini akan terasa efektiv di laksanakan apabila tenaga pendidik dan siswa bisa memahami dengan jelas terkait dengan materi yang sudah di sampai kan oleh tendik (tenaga pendidik) meskipun penyampaian materi di lakukan dengan melalui sebuah platform media.
Lebih jelasnya lagi seperti yang dikatakan oleh Gunawardena (1995) bahwa ketika akan menjadikan pembelajaan daring bisa berjalan sukses maka kuncinya adalah efektivitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, hasil penelitian menunjukan bahwa ada 3 hal yang dapat memberikan efek keberhasilan dari pembelajaran secara daring. Ketiga hal tersebut adalah teknologi, karakteristik pengajar dan karakteristik siswa[4].
Teknologi khususnya mampu mendukung pengaturan jaringan yang seharusnya memungkinan adanya pertukaran singkronisasi dan asinkronisasi. Dalam hal ini siswa perlu dipastikan supaya mempunyai akses yang mudah (contohnya akses jarak jauh) dan jaringan yang mendukung harus mampu untuk menyesuaikan waktu yang seminimal mungkin untuk terjadinya tukar menukar dokumen.
Kemudian karakteristik dari pengajar, dimana seorang pengajar memiliki peran sentral dalam efektivitas pembelajaran yang dilakukan dengan sistem daring. Bukan merupakan sebuah teknologi yang penting namun penerapan intruksional teknologi dari pengajar dapat memberi efek pada pembelajaran yang terjadi. Hal tersebut dapat ditunjukan melalui siswa yang mengikuti pelajaran dalam kelas dengan pengajar yang memiliki sifat dan sikap positif terhadap penyampaian suatu pembelajaran. Pengajar yang dapat memahami akan teknologi, maka pembelajaran yang dihasilkan akan lebih positif.
Terakhir adalah karakteristik dari siswa, bahwa seorang siswa yang tidak mempunyai disiplin diri yang tinggi dan tidak mempunyai keterampilan dasar tidak dapat mengikuti sistem pembelajaran secara baik dengan metode yang pengajar sampaikan secara manual atau konvesional atau dilakukan dalam ruang kelas langsung. Sedangkan siswa yang memiliki kecerdasan, memiliki disiplin dan kepercayaan diri, siswa tersebut mampu untuk melakukan pembelajaran dengan melalui daring.
Siswa juga perlu memahami bagaimana cara untuk dapat mengunakan teknologi dengan sebaik mungkin. Dalam hal ini orang tua sebagai orang terdekat memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman kepada anak bagaimana cara memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya dan juga membimbing anak dalam menggunakan teknologi terutama dalam segi pendidikan.
Untuk memenuhi unsur-unsur kesuksesan pembelajaran daring, hal pertama yang perlu ditekankan adalah tentang kemampuan literasi digital yang dimiliki oleh tenaga pendidikan, siswa, dan orang tua. ALA (American Library Association) mengungkapkan bahwa literasi digital adalah sebagai kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menemukan, memahami, mengevaluasi, membuat dan mengkomunikasikan informasi digital[4].
Hal tersebut termasuk berbagai jenis literasi, dari literasi informasi ke literasi media, literasi TIK dan melek internet yang merupakan inti dari keterampilan abad ke-21 dan merupakan bagian dari revolusi industri 4.0 mencakup aspek pendidikan. Dimana pendidikan yang berbasis pada era 4.0 merupakan respons atau jawaban terhadap kebutuhan dari adanya revolusi industri 4.0. Pada era ini antara manusia dan teknologi seimbang supaya dapat menciptakan adanya peluang-peluang baru yang sifatnya kreatif dan inovatif[6].
Dari definisi tersebut dapat kita ambil garis besar bahwa literasi digital adalah suatu kemampuan yang seseorang miliki untuk menggunakan teknologi informasi dan juga komunikasi. Kepemilikian dalam kompetisi literasi digital juga berguna untuk kita dalam menghadapi informasi yang berasal dari berbagai sumber digital yang saat ini berkembang secara terus menerus seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi[7].
Kemampuan literasi digital yang dimiliki oleh seorang guru, siswa, dan orang tua sangat dibutuhkan pada masa sekarang ini. Namun, dalam praktiknya masih banyak guru dan orang tua yang memiliki kemampuan literasi digital dibawah rata-rata. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak guru dan orang tua masih merupakan bagian dari generasi x maupun generasi sebelumnya dimana mereka lahir pada zaman sebelum teknologi berkembang pesat.
Usia tersebut merupakan tantangan bagi guru dan orang tua ketika diharuskan mengikuti perkembangan teknologi. Perbedaan zaman ketika mereka bertumbuh dengan zaman sekarang menghasilkan adanya gap antara siswa yang lahir dan tumbuh di era digital seperti sekarang ini.
Terkait dengan adanya permasalahan tersebut, sebagai mahasiswa jurusan telekomunikasi kita perlu memberi solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Guru sebagai pilar utama dalam menyukseskan program pembelajaran daring dalam rangka mencegah penyebaran virus covid-19, siswa yang memanfaatkan teknologi untuk kepentingan edukasinya, dan juga orang tua sebagai salah satu pihak ketiga yang memberi arahan pada anak mau tidak mau harus memiliki kemampuan literasi digital yang memadai untuk mengikuti pembelajaran. Orang tua juga harus ikut berpartisipasi dalam mengembangkan cara baru untuk mendidik anak di era digital[8].
Mahasiswa sebagai seorang yang memiliki background pendidikan yang berkaitan erat dengan permasalahan ini perlu memberi arahan yang baik pada masyarakat, terutama pada lingkup keluarga kita terlebih dahulu. Sebagai orang terdekat, pasti akan lebih mudah untuk memberi pengarahan tentang bagaimana menumbuhkan literasi digital kepada keluarga.
Selain itu juga karena tidak adanya batasan jarak dan tinggal dalam satu atap maka akan sangat memudahkan. Apabila terdapat 1000 mahasiswa yang mampu memberikan arahan dan pemahaman kepada masing-masing keluarganya, maka akan ada 1000 keluarga yang memiliki kemampuan literasi digital yang memadai.
Kemudian mahasiswa juga dapat kerkontribusi melalui penyebaran berita mengenai pentingnya literasi di masa saat ini dengan melalui media surat kabar atau koran, majalah, radio, maupun televisi. Mahasiswa yang bergabung dengan salah satu organisasi kampus juga dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat sepaya pemerintah dapat lebih mengkampanyekan literasi digital.
Mahasiswa juga dapat melakukan kegiatan sosialisasi kepada masyarakat luas terutama guru, siswa, dan orang tua mengenai bagaimana penggunaan platform belajar. Karena adanya masa pandemi, sosialisasi tidak dapat dilakukan secara langsung kepada masyarakat, tetapi dapat melalui siaran langsung melalui media youtube, meskupin YouTube termasuk salah satu platform belajar, namun masyarakat kita cenderung lebih memahami bagaimana cara menggunakan youtube. (*)
*)Penulis: Yessi Tiyastanti
Program Studi Sistem Telekomunikasi 2020 Kelas B, Universitas Pendidikan Indonesia
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi Wartacakrawala.com
*)Opini di Wartacakrawala.com terbuka untuk umum
*)Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim
Daftar Pustaka
[1] “Listings of WHO’s response to COVID-19.” https://www.who.int/news/item/29-06-2020-covidtimeline (accessed Dec. 17, 2020).
[2] X. Zhu and J. Liu, “Education in and After Covid-19: Immediate Responses and Long-Term Visions,” Postdigital Sci. Educ., vol. 2, no. 3, pp. 695–699, Oct. 2020, doi: 10.1007/s42438-020-00126-3.
[3] D. S. Nahdi and M. G. Jatisunda, “ANALISIS LITERASI DIGITAL CALON GURU SD DALAM PEMBELAJARAN BERBASIS VIRTUAL CLASSROOM DI MASA PANDEMI COVID-19,” J. Cakrawala Pendas, vol. 6, no. 2, Jul. 2020, doi: 10.31949/jcp.v6i2.2133.
[4] C. N. Gunawardena, “Social Presence Theory and Implications for Interaction and Collaborative Learning in Computer Conferences,” p. 20.
[5] “Digital Literacy,” Welcome to ALA’s Literacy Clearinghouse, Jan. 19, 2017. https://literacy.ala.org/digital-literacy/ (accessed Dec. 17, 2020).
[6] D. Lase, “Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0,” SUNDERMANN J. Ilm. Teol. Pendidik. Sains Hum. Dan Kebud., vol. 1, no. 1, pp. 28–43, Nov. 2019, doi: 10.36588/sundermann.v1i1.18.
[7] Q. Q. A’yuni, “LITERASI DIGITAL REMAJA DI KOTA SURABAYA,” p. 15.
[8] A. Rachmanto and Wicaksono, d, “Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi Jakarta 2019,” p. 252.