Wartacakrawala.com – Pernikahan sejak zaman dahulu merupakan ikatan yang sakral. Mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis menjadi dambaan semua orang. Namun, badai seringkali tak terhindarkan, sehingga bahtera rumah tanggapun harus terhempaskan. Tak jarang anakpun harus menjadi korban.
Pernikahan merupakan hubungan yang sah antara seorang laki-laki dan perempuan yang diakui oleh Negara dan berlandaskan pada Undang-Undang yang berlaku. Dengan kata lain pernikahan artinya mempersatukan. Namun, hal itu tidak hanya mempersatukan dua individu, melainkan bersatunya dua keluarga, budaya, bahasa, dan tingkah laku yang berbeda pula.
Dalam pernikahan, antara suami dan istri sama sama memiliki kewajiban untuk menunaikan tugasnya dalam rumah tangga. Masalah dalam bahtera rumah tangga merupakan hal yang tidak akan bisa dihindarkan. Permasalahan pasti akan selalu ada. Oleh karena itu, kedewasaan dan kesiapan dalam hal jasmani dan rohani merupakan keharusan yang harus dimiliki dan merupakan dasar untuk mencapai tujuan dan cita-cita pernikahan. Sehingga, perceraian dalam rumah tanggapun dapat diminimalisir atau dihindari.
Sejatinya, setiap pasangan suami istri akan berupaya semaksimal mungkin agar kehidupan rumah tangga yang mereka bina tidak berakhir pada perceraian. Sebab, semua agama memandang bahwa perceraian adalah tindakan yang tidak baik terutama akibatnya terhadap anak-anaknya. Secara moral, perceraian sebagai perbuatan yang paling dimurkai Allah SWT, walaupun di perbolehkan.
Percaraian dewasa ini, seperti sebuah tren yang seakan bukan hal tabu untuk dilakukan. Tak jarang setiap permasalahan rumah tangga harus berakhir dengan perceraian. Seakan perceraian adalah jalan terakhir dalam setiap permasalahan rumah tangga.
Faktanya angka perceraian dari tahun ke tahun terus meningkat. Berdasarkan data yang dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018. Dari jumlah itu, inisiatif perceraian paling banyak dari pihak perempuan yaitu 307.778 perempuan. Sedangkan dari pihak laki-laki sebanyak 111.490 orang. Jumlah di tersebut merupakan perceraian yang dilakukan atas dasar pernikahan pasangan muslim. Belum termasuk pasangan nonmuslim,yang melakukan perceraian di pengadilan umum. Tentunya, hal ini merupahan fakta yang memilukan.
Fenomena inilah yang mungkin menjadi landasan tentang wacana pelatihan pra-nikah bersertifikat yang belakangan ramai diperbincangkan. Lalu faktor apa saja yang mendorong terjadinya perceraian tersebut?. Secara ilmiah sedikitnya ada 6 faktor yang paling dominan untuk mendorong terjadinya perceraian seperti dilansir dari Sciencealert.com.
Terlalu dini
Menurut penelitian yang dilakukan Nicholas Wolfinger, waktu terbaik untuk menikah menurut penelitian yaitu saat anda dan pasangan anda merasa sama-sama sudah siap, baik secara fisik maupun batin. Artinya diperlukan kematangan usia dan cara berpikir. Selain itu makin besar jarak usia di antara pasangan, makin tinggi pula risiko perceraiannya.
Ekonomi
Sebuah penelitian di Universitas Harvard di tahun 2016 menemukan bahwa suami yang tidak bekerja memiliki risiko perceraian lebih tinggi dari kondisi ekonomi keluarga yang di bawah rata-rata. Penelitian ini menggaris bawahi bahwa stereotipe lingkungan yang mengharuskan pria di keluarga untuk bekerja itulah penyebab utama risiko perceraian tersebut.
Pendidikan
Sebuah penelitian yang dilakukan sejak tahun 1979 oleh National Longitudinal Survey of Youth menemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin kecil risiko perceraiannya ketika ia berumah tangga. Rendahnya tingkat pendidikan tersebut sering berdampak pada rendahnya pendapatan dan rendahnya perkembangan karakter jika disesuaikan dengan perkembangan zaman. Tentunya hal ini akan berdampak pada tingkat perceraian.
Meremehkan Pasangan
John Gottman, seorang psikolog dari University of Washington dan founder dari Gottman Institute, menyatakan bahwa ada beberapa kebiasaan dalam hubungan yang berdampak pada perceraian, 1). Sering menganggap pasanganmu lebih “rendah” darimu. 2). Men-cap kebiasaan pasanganmu sebagai karakter dirinya, 3). Playing victim atau selalu merasa sebagai korban dalam situasi yang sulit, 4). Selalu menyetop percakapan atau menghindari diskusi
Selalu Menghindari Konflik
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Marriage and Family tahun 2013 menyebutkan bahwa kebiasaan “menghindari konflik” akan meningkatkan risiko perceraian. Lebih lanjut, Menurut penelitian Communication Monographs tahun 2014, tidak ada pasangan yang bahagia dengan adanya kebiasaan ini.
Sering mendeskripsikan hubungan dalam sudut pandang yang negatif
Sejak tahun 1992, penelitian dari University of Washington mengembangkan prosedur analisis risiko putusnya pasangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahawa Mereka yang suka menjelek-jelekkan hubungan mereka sendiri ternyata memiliki resiko yang cukup besar terhadap perceraian.
*)Penulis: Muzayid
Praktisi media dan akademisi
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi Wartacakrawala.com