Wartacakrawala.com – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menggelar pertemuan dan konferensi pers bersama kemarin di Gedung Putih (White House), terkait proposal perdamaian untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung sejak 1947. Proposal ini disebut dengan “Deal of Century” atau kesepakatan abad ini. Pertemuan ini dilakukan dengan tidak atau tanpa melibatkan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas yang memang telah menolak proposal perdamaian ini, karena dianggap hanya menguntungkan pihak Israel dan mengabaikan kepentingan pihak Palestina.
Diantara poin2 penting yang disampaikan adalah terkait dengan peta baru wilayah Israel dan Palestina yang telah dirancang sebagai kesepakatan yang dianggap bisa mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama ini. Dalam peta baru itu, kota suci Jerussalem atau Al-Quds akan tetap menjadi ibukota negara Israel, dan ibukota negara Palestina berada di kota Abu Dis, yaitu kota kecil di Tepi Barat Sungai Jordan yang dekat dan berbatasan langsung dengan kota tua Jerussalem Timur, tempat dimana komplek Masjidil Aqsha atau Haram Al-Sharif berada. Sedangkan pemukiman Israel atau Yahudi di zona C di Tepi Barat yang selama ini dianggap ilegal oleh komunitas internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menjadi tertorial wilayah Israel.
Baca: KPK dan Partai Penguasa
Negara Palestina masa depan sebagaimana yang disebutkan dalam proposal ini yaitu negara dengan tanpa kedaulatan penuh dan tanpa militer akan mendapatkan wilayah di zona A dan sebagian zona B sebagaimana tersebut di piagam perdamaian Oslo-Norwegia yang disepakati antara Presiden Palestina selaku Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin tahun 1993. Wilayah Palestina terdiri dari ibukota di Abu Dis dan kota2 di Tepi Barat, seperti: Ramallah, Hebron, Nablus, Tulkarem, Jenin, Bethlehem, Jericho, Qalqilia, dan lainnya, termasuk Jalur Gaza yang berbatasan langsung dengan Mesir. Wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza yang terpisah akan dihubungkan dengan terowongan yang akan dibangun pasca kesepakatan ini. Palestina juga akan mendapatkan tambahan wilayah tambahan di timur Jalur Gaza sebagai area industri manufaktur dan pertanian yang akan menopang perekonomian Palestina. Palestina disebutkan juga akan mendapatkan dana besar2an dalam jumlah Triliunan dengan kompensasi melakukan demiliterisasi atau pembubaran faksi2 perlawanan seperti: Hamas, Jihad Islam, PFLP, dan lainnya.
Proposal setebal 80 halaman ini menekankan, bahwa keamanan negara Israel dan entitas Yahudi di Timur Tengah adalah prioritas utama bagi terwujudnya prinsip solusi dua negara (two states solution). Presiden Donald Trump dengan sangat yakin dan mantap bahwa proposal yang disebut dengan “Kesepakatan Abad Ini” nanti akan bisa membawa pada perdamaian abadi. Trump juga berharap agar pihak Palestina mempertimbangkan untuk menerima proposal ini dan hadir dalam pertemuan guna mewujudkan agenda ini. Presiden Trump yang sedang menghadapi sidang pemakzulan di Senat AS ini diketahui berupaya menelepon Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, namun Abbas menolak qmenerima telepon itu. Trump berupaya “merayu” Abbas agar bersedia menerima proposal ini.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang berasal dari Partai atau Kelompok Fatah ini telah menegaskan tidak menerima proposal perdamaian ini yang mengabaikan kepentingan Palestina. Abbas secara kompak dengan Partai pesaingnya Hamas yang menguasai Jalur Gaza menolak mentah2 proposal yang disebut sebagai sampah ini. Presiden Abbas telah membekukan hubungan dengan Amerika Serikat sejak Presiden Trump mengakui kota Jerussalem sebagai ibukota Israel. Kota Jerussalem, terutama Jerussalem Timur tempat Masjid Al-Aqsha berada, bagi Palestina adalah ibukota mereka dengan wilayah yang berpatokan pada perbatasan dengan Israel sebelum terjadinya perang enam hari tahun 1967 antara Israel dan negara2 Arab yang dimenangkan pihak Israel.
Sesungguhnya konflik Israel dan Palestina yang disebut sebagai konflik paling abadi di muka bumi ini, waktu itu diharapkan berakhir dengan perjanjian Oslo tahun 1993 antara Pemimpin PLO (Palestine Liberation Organisation), Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin dengan mediator Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton. Namun akhirnya Yitzhak Rabin terbunuh oleh warganya sendiri bernama Yigal Amir yang menolak perjanjian ini. Rabin kemudian digantikan berturut2 oleh: Shimon Peres, Ehud Barak, Benjamin Netanyahu, Ariel Sharon, Ehud Olmert, dan Benjamin Netanyahu lagi, dan nasib perjanjian Oslo yang telah disepakati Palestina dan Israel ini semakin tidak jelas. Bahkan Presiden Palestina, Yasser Arafat sampai meninggal dan kemudian digantikan deputinya, Mahmoud Abbas sampai dengan saat ini, konflik keduanya masih terus berlanjut. Berbagai perundingan yang dilakukan selalu menuai kegagalan.
Proposal Presiden Trump diatas mendapatkan respon yang beragam dari sejumlah komunitas Internasional. Arab Saudi melalui Putra Mahkotanya, Mohamad bin Salman berharap Abbas mempertimbangkan untuk menerima draf proposal ini, demikian juga negara Arab lain seperti: Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Mesir dan juga sejumlah negara Barat dan Eropa. Namun mayoritas negara Arab lain dan negara2 anggota OKI (Organisasi Kerjasama Islam) dan negara anggota Gerakan Non Blok (Non Aligned Movement) menolak draf proposal yang menguntungkan satu pihak dalam hal ini Israel dan mengabaikan kepentingan pihak lain yaitu Palestina. Presiden Abbas dalam konferensi pers di Ramallah kemarin menyatakan Jerussalem tidak akan pernah dijual dan tidak bisa ditukar dengan uang atau materi.
Sejumlah warga Palestina di kota2 Tepi Barat dan Jalur Gaza secara serempak berdemonstrasi menolak gagasan Trump ini. Semua faksi atau kelompok Palestina yang selama ini berseberangan terutama Fatah dan Hamas sepakat menolak ide atau gagasan Trump yang dianggap mengubur kepentingan nasional Palestina. Sebenarnya Palestina sudah secara resmi diakui sebagai sebuah negara oleh PBB dalam voting tentang keanggotaannya sebagai negara peninjau, juga sebagai anggota UNESCO yang bermarkas di Paris-Perancis. Namun Amerika Serikat dan Israel kompak menolak hasil voting di PBB yang mengakui negara Palestina. Palestina sampai sekarang adalah pemerintahan otonomi atau Otoritas Palestina yang bermarkas di kota Ramallah-Tepi Barat Sungai Jordan.
Kesepakatan apapun yang tidak mengakomodir kepentingan kedua belah pihak, dalam hal ini Palestina dan Israel, biasanya akan mengalami kegagalan. Oleh karena itu, seyogyanya kepentingan Palestina bisa diakomodir dalam draf proposal itu, jika ingin mengalami keberhasilan. Selama ini, Amerika Serikat dan bersama Rusia, Uni Eropa, dan PBB yang disebut dengan Tim Kuartet perdamaian Timur Tengah adalah mediator yang diakui dunia internasional, dimana Amerika Serikat paling dominan dalam setiap persoalan Palestina-Israel. Kepentingan Palestina yang dimaksud yaitu perbatasan negara sebelum perang tahun 1967, hak kembali pengungsi Palestina, hak ekonomi dan hak2 krusial yang lain, serta Jerussalem Timur sebagai ibukota masa depan Palestina.
Realitasnya, pemerintahan Presiden Donald Trump telah mengakui Jerussalem sebagai ibukota Israel dengan memindahkan kedutaan besar (embassy)nya darikota Tel Aviv. Presiden Trump juga mengakui Dataran Tinggi Golan yang dicaplok dari Suriah sebagai wilayah Israel. Bahkan baru2 ini, lembah Jordan juga akan dicaplok / dianeksasi oleh Israel. Dalam peta di google map, wilayah Israel bertambah luas, sedangkan wilayah Palestina semakin menyusut.
PBB sebagai organisasi perdamaian dunia seharusnya mampu mengambil peran aktif untuk mengakhiri konflik ini dan memberikan keadilan bagi persoalan Palestina. PBB diharapkan tidak hanya bisa menyesalkan, mengecam, atau mengutuk setiap ada pelanggaran hukum2 internasional di wilayah Timur Tengah. Keputusan atau resolusi yang dikeluarkan PBB terkait persoalan ini juga hendaknya tidak hanya berlaku diatas kertas tanpa eksekusi nyata di lapangan. Amerika Serikat yang selama ini menerapkan standar ganda (double standard) dalam penyelesaian konflik Timur Tengah (Middle East) harus bisa bersikap adil dan seimbang, agar konflik abadi ini bisa segera terurai dan menjamin piagam perdamaian PBB bisa diiwujudkan. Hak Veto yang selama ini sering digunakan secara tidak balance di Dewan Keamanan (Security Council) PBB (United Nations) juga harus diakhiri. Akhirnya kita tunggu saja, bagaimana konflik ini terjadi sampai akhir dunia ini tiba. Allahu A’lam.
Penulis: M. Lutfi Khoirudin